Di Sebuah Asrama (1)

Akhir-akhir ini wajahnya memang tidak seperti biasanya, diam dan murung. Meskipun sebenarnya memang dia anaknya pendiam. Dia termasuk santri yang rajin dari penilaianku baik dari akademis maupun non akademis. Akhir- akhir ini sering aku melihatnya lama sekali menatapku. Ketika aku bertanya “kenapa Yu..kok melihat ibu terus?” dia hanya menjawab “nggak apa-apa bu…” sambil tersenyum sekilas. Aku melihat matanya seperti memendam sesuatu yang aku tidak bisa menebaknya. Teman-teman seprofesiku sesama “pendamping” juga merasakan hal yang sama denganku. Ketika ibu Ida, teman seprofesiku bercerita tentang perubahan Ayu kepadaku “Kok kelihatannya Ayu berubah ya bu?” Akupun mengiyakan pendapat ibu Ida. Kemudian ibu Ida bercerita lagi kalau Ayu juga sering menatapnya lama, seperti ada sesuatu yang ingin dia ceritakan atau ditanyakan tapi kemudian diurungkannya.

Teman-teman sekamar Ayu, juga bercerita kepada kami para pendamping santri, kalau Ayu akhir-akhir ini tingkah lakunya aneh, mudah sekali tersinggung, suka bicara sendiri dan kadang tidak sadar apa yang baru dibicarakannya. “ Sering nggak nyambung bu kalau diajak bicara..” seloroh Desy, teman sekamar Ayu. “Saya kasihan bu, lihat Ayu seperti orang linglung, bingung”. Lanjutnya. Lalu diapun bercerita lagi tentang sikap Ayu yang tidak seperti biasa, dari mulai aktivitas pagi sampai paginya lagi. “Ya sudah, nanti ibu ajak Ayu untuk bicara, mungkin dia punya masalah di sekolah atau keluarganya” Aku bersimpati pada teman-teman sekamarnya yang sangat memperhatikan dengan perubahan diri temen mereka, Ayu.

Beginilah menjadi seorang kakak atau ibu sementara bagi murid-murid atau santri yang aku dampingi, di ma’had atau aku lebih suka menyebutnya asrama sekolah. Begitupun aku lebih suka disebut pendamping santri, bukan seorang “ustadzah” seperti pihak sekolah menyebut kami para pendamping di asrama di sebuah kota dingin di jawa Timur ini. Murid-muridku yang biasanya memanggilku ibu Eni, sudah aku anggap seperti adikku sendiri. Aku bahkan sangat menyayangi mereka lebih dari adikku sendiri. Selalu mendengarkan keluh kesah mereka, nonton tv sambil bercanda bersama, atau juga ketika kami masak di dapur, sampai terkadang suara dapur seperti pasar kaget saja…. Ah…bagaimana ya nanti jika kita berpisah… Eh ko jadi ngelantur. Setelah mengajar mengaji di kamar Aisyah, akupun langsung beranjak tidur, entah rasanya hari ini aku merasa capek sekali.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, ibu ida memanggil aku dan ibu Ila juga teman seprofesiku. “A..ayu bu…dia seperti orang kesurupan, nangis sambil ketakutan.!” Aku dan ibu Illa bergegas mengenakan busana dan kerudung, lalu pergi ke kamar Fatimah, yaitu kamar Ayu.

To be continued………

Satu respons untuk “Di Sebuah Asrama (1)

  1. saking lamanya gak nulis, jadi lupa kelanjutan ceritanya..hiks…ada yang bisa bantu gak ya? bu rida bu shofa?temen2 yang dulu di ma’had ali? 😦

Tinggalkan komentar